Staf Ahli Kapolri Telepon Kapolda Metro Jaya Menerangkan Bahwa Kasus AKBP Bintoro Diduga Penyuapan Bukan Pemerasan
JAKARTA – Mantan Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, AKBP Bintoro, digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diduga terkait kasus pemerasan.
Selain Bintoro terdapat dua anggota Polri dan 2 orang sipil yang turut digugat masing-masing atas nama AKP Mariana, AKP Ahmad Zakaria, Evelin Dohar Hutagalung, dan Herry.
Adapun gugatan itu dilayangkan oleh dua orang yakni Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartoyo dan teregister dengan nomor perkara 30/Pdt.G/2025/PN.Jkt.SEL.
Dalam gugatan tersebut, Arif selaku tergugat I orang meminta agar hakim memerintahkan AKBP Bintoro Cs mengembalikan uang senilai Rp 1,6 miliar.
Arif juga melayangkan permintaan kepada hakim agar Bintoro dan 4 tergugat lainnya mengembalikan mobil hingga motor mewah yang sebelumnya telah dijual.
AKBP Bintoro menghadapi tuduhan melakukan pemerasan terhadap dua tersangka kasus pembunuhan yang ditanganinya.
Bukan Pemerasan?
Terkait hal itu, Staf Ahli Kepala Kepolisian RI (Kapolri), Aryanto Sutadi, berpendapat kasus AKBP Bintoro lebih tepat disebut kasus dugaan penyuapan.
Aryanto menyebut pihak Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya merespons cepat kasus dugaan pemerasan itu dengan memberi sanksi penempatan khusus (patsus) kepada empat personelnya.
“Kemudian Propam cepat ambil tindakan, keempat orang ini dimasukkan dalam patsus, diperiksa pelanggaran etiknya,” tuturnya.
Aryanto menyampaikan pendapatnya tersebut dalam dialog Kompas Petang yang ditayangkan Kompas TV, Selasa (28/1/2025).
“Keterangan-keterangan selama pemeriksaan etik ini, saya dapat keterangan dari Polda, bahwa itu ternyata kasusnya itu lebih tepat dikatakan kasus penyuapan,” tegasnya.
Aryanto mengatakan pada kasus pemerasan, yang terjadi adalah satu pihak menekan pihak lain untuk memberikan sesuatu atau membayar.
“Kalau pemerasan itu berarti satu pihak. Misalnya penyidik mengatakan, ‘Kamu bayar sebegini, kalau nggak akan saya kirim.’ Tapi yang terjadi, itu adalah ada peran dari pengacara, bukan pengacara yang menggugat tapi pengacara yang dulu,” bebernya.
“Jadi pengacaranya itu ngomong sama yang bersangkutan, pelaku waktu itu, kemudian mau diurus bahwa itu kasusnya tidak akan dikirim, dan si Bintoro itu menjanjikan tidak akan mengirim.”
Ia menegaskan kasus pembunuhan tersebut bukan dihentikan, melainkan tidak dikirim atau dilimpahkan ke tahap proses hukum selanjutnya.
“Sementara dia waktu itu katanya menjanjikan, ternyata itu pun nggak ditepati janjinya kan. Makanya kemudian uang suap itu diminta kembali,” kata dia.
Ia kembali menegaskan, perkara dugaan pemerasan yang diduga melibatkan AKBP Bintoro tersebut lebih tepat disebut sebagai kasus dugaan suap.
“Jadi dalam kasus ini kelihatannya yang lebih tepat adalah suatu kasus penyuapan. Oleh karena itu nanti penyelidikan akan dilanjutkan kepada siapa yang menyuap, siapa yang menyuruh, siapa yang menerima.”
“Sejauh ini yang sudah jelas adalah kekeliruan dari si kasat serse dan teman-temannya, satu grupnya itu, adalah menerima suap itu. Di berita itu kan pertama kali disebut Rp20 miliar. Sedangkan yang sampai kepada polisi itu kurang dari satu miliar,” tuturnya.
Telepon Kapolda Metro Jaya
Aryanto Sutadi mengaku telah menelepon Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Kartoyo untuk menanyakan langkah yang akan dilakukan berkaitan dengan kasus tersebut.
“Saya sudah telepon Bapak Kapolda, saya tanyakan apa langkah selanjutnya,” ujarnya.
“Prinsipnya Bapak Kapolda akan membersihkan anggota-anggotanya yang nakal dan akan ditindak sesuai dengan prosedur yang berlaku,” ujarnya.
Aryanto menambahkan, Kapolda Metro Jaya menilai bahwa tidak tepat jika kasus itu disebut sebagai pemerasan.
“Beliau mengatakan, tidak tepat jika itu dikatakan pemerasan,” ujarnya.
Sebab, lanjut Aryanto, berdasarkan pemeriksaan kode etik terhadap para terduga pelanggar, pihak yang aktif adalah pengacara lama korban.
“Dilihat dari prosesnya, pengiriman uang dan sebagainya itu yang sangat aktif adalah pengacara yang dulu.”
Meski demikian, ia mengaku bahwa berdasarkan pernyaataan pengacara korban yang sekarang, ada personel Polri yang aktif meminta.
“Jadi intinya Kapolda Metro betul-betul geram ya, kita sebagai senior juga geram, masa penyidik sekarang begitu tamaknya, mencari suap sampai Rp20 miliar,” tuturnya.
“Ternyata yang terjadi bukan begitu, tapi memang iya terjadi penyuapan, jumlahnya berapa, masih akan didalami.”
Ia menegaskan, yang akan dikejar oleh pihak kepolisian adalah kasus dugaan suap.
“Pasti yang akan dikejar sekarang adalah kasus penyuapannya ini, untuk membersihkan polisi supaya bersih, jangan sampai praktik seperti itu terjadi.”
Minta Ditangani Pihak Luar
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto mengakui dalam penyelidikan kasus yang melibatkan internal, kepolisian dituntut untuk objektif.
“Pihak yang memberikan uang, korban dalam hal ini, kalau ini dikatakan sebagai pemerasan, tentu pihak tersebut adalah korban, ini bisa melaporkan ke kepolisian juga,” ucapnya dalam dialog Kompas Petang yang ditayangkan Kompas TV, Selasa (28/1/2025).
“Memang menjadi problem ketika pihak kepolisian dalam konteks ini tentu adalah menjadi pihak yang disudutkan, apakah kepolisian bisa obyektif dalam menangani kasus ini atau tidak,” tegasnya.
Oleh sebab itu, menurutnya, kepolisian harus menggandeng pihak eksternal dalam menangani kasus dugaan pemerasan yang menjerat AKBP Bintoro, misalnya Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
“Makanya harus ada pihak eksternal, dalam hal ini bisa saja Kompolnas masuk di sini,” tegasnya.
Ia menyebut kasus semacam ini cukup banyak terjadi tetapi hanya sedikit yang berani melaporkan atau mengungkapkan.
“Tapi yang mencuat, yang berani speak up (berbicara, red) hanya beberapa orang, seperti pada kasus DWP (pemerasan terhadap penonton Djakarta Warehouse Project/DWP), yang berani speak up adalah warga negara asing, seperti itu,” jelasnya.
“Di kepolisian memang harus ada pembenahan dalam sistem kontrol, karena kalau tidak ada perbaikan dalam sistem kontrol, ini akan terulang-terulang lagi.”
Bambang menambahkan, sebenarnya kepolisian harus membangun sistem informasi proses penyelidikan untuk transparansi.
Tujuannya, agar masyarakat bisa melihat sejauh mana proses hukum itu dilakukan oleh kepolisian.
“Kalau tidak, yang muncul ya seperti ini, masyarakat tidak bisa mengontrol, akhirnya muncullah transaksi-transaksi haram seperti ini. Ada yang menyuap, ada yang memeras, seperti itu. Siapa yang memeras atau menyuap, sama-sama tentu adalah tindak pidana,” bebernya.
Publik, kata dia, tentu tidak bisa menyudutkan salah satu pihak. Oleh karenanya, penyelidikan terkait kasus AKBP Bintoro memang harus dibuka secara transparan.
“Aliran uang itu ke mana saja, dan pihak yang korban, dalam hal ini memang harus memberikan bukti-bukti yang kuat terkait dengan laporan yang diberikannya.”
AKBP Bintoro membantah telah melakukan pemerasan Rp20 miliar terhadap kedua tersangka tersebut.
Bantahan AKBP Bintoro
Menyikapi isu pemerasan tersebut, AKBP Bintoro membantahnya.
“Saya AKBP Bintoro izin mengklarifikasi terkait berita yang beredar dan viral di masyarakat tentang dugaan pemerasan. Itu fitnah dan mengada-ada,” kata Bintoro dalam keterangannya, Minggu (26/1/2026).
Pemerasan tersebut diduga terjadi saat Bintoro masih menjabat Kasat Reskrim Polres Jakarta Selatan.
Bintoro dituding meminta uang sebesar Rp 20 miliar kepada bos klinik kesehatan agar kasusnya dihentikan.
Saat ini Bintoro dimutasi menjadi penyidik madya Ditreskrimsus Polda Metro Jaya.
AKBP Bintoro menegaskan tak pernah meminta uang seperti yang dituduhkan.
Menurutnya kasus itu tidak dihentikan dan masih berjalan di Polres Jakarta Selatan.
“Hingga kini proses perkara telah P21 dan dilakukan pelimpahan ke Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dengan dua tersangka saudara AN dan B untuk disidangkan,” ujarnya.
(ZnL)